Alkisah, hiduplah seekor kodok yang gembira ria. Ia menetas dari hasil pembuahan dua induk berkualitas yang lantas menjelma kecebong di sebuah empang. Nihil dalam benak sang kecebong mungil bisa hidup di dua alam. Yang ia tahu hanya berenang. Ya, berenang di empang kecilnya yang asri.
Takdir mengizinkannya menikmati hidup. Si Cebong, begitu masa ciliknya ia dipanggil, selintas memulai fase kodok muda. Empat kakinya sudah tumbuh, meski ekor masih belum hilang sempurna. Laun kawannya mengajak Cebong mengentas dari empang. “Ei, mari kita berkelana ke kolam sana. Airnya jauuuuuh lebih segar, ikan dan ketamnya pun lebih banyak dan nikmat! mmm.. nyom nyom nyom, kita pasti bahagia di sana!” ujar sang kawan, entah mendapat info dari mana. Cebong menurut, meski mulanya sedikit ragu; Cebong patah-patah menjejakkan kaki ke darat dan mulai melompat.
Lepas berjalan berpuluh harmal, keduanya belum sampai di kolam impian. Rupanya lokasi kolam memang tak sedekat yang dibayangkan. Jalanan pun berliku penuh aral. Namun, demi janji kehidupan yang lebih baik, sepanjang jalan mereka saling memupuk semangat. “Tenang saja, menurut wangsit Mbah Bangkong kolamnya sedikit lagi, sedikit lagi kita serasa di kahyangan!” ucap mereka saling hibur.
Sampai suatu ketika… “Puk cipak cipuk, splash, splash!” terdengarlah gemercik air dari kejauhan. Cebong dan kawannya bergegas menuju sumber suara dan, voila! bak surga dunia di depan mata, mereka terkesima memandang kolam yang dijanjikan.
Di sinilah kisah Cebong yang sebenarnya dimulai. Rindu menyelam di perairan, Cebong lantas melompat terjun ke kolam. Airnya memang ibarat embun yang terlalu melimpah. Bekas lelah perjalanan terbayar sudah. Ia pun menikmati berburu ketam dan ikan-ikan, juga serangga air yang rupanya tumpah ruah di kolam surga. Tak lupa ia juga berkenalan dengan penduduk asli dan pendatang terdahulu yang tinggal di sekitar kolam. Namun, kini ia enggan dipanggil Cebong karena tubuhnya sudah menjelma kodok dewasa. Kodok sekitar pun memberinya panggilan baru, Kocu, akronim dari kodok lucu, akibat gaya berenangnya yang menghibur penghuni kolam.
Setelah bulan-bulan pertama begitu antusias menjelajah hamparan air, si Kocu sedikit kelelahan. Belum lagi kawannya pamit kembali ke empang karena suatu urusan yang entah untuk berapa lama. Letihnya jadi terasa berlipat-lipat! Kocu pun melirik sarang tupai dan bekicot yang tak jauh dari kolam. “Humm, Tuan Tutupapai bobok 14 jam seharian. Si Kicot malah sepanjang musim panas. Sepertinya bobok enak, deh,” pikir Kocu. Tergoda, ia mencari tempat nyaman di bawah pohon rindang dan sayup-sayup memejam mata.
Tak dinyana Kocu bermimpi indaaah sekali. Ia pun enggan terjaga ketika ada yang membangunkan. Meski banyak yang merayu agar Kocu kembali berenang dengan gayanya yang lucu, ia kelewat malas. Ia berdalih, “Aku sedang asyik bermimpi.” Hewan-hewan di sekitar yang mencoba membangunkannya pun kewalahan.
Hari berganti hari, Kocu tetap terlelap sedemikian lama. Sesekali ia bangun dan menyelupkan kakinya ke air karena dipaksa. Akan tetapi, tak berselang lama ia kembali ke pembaringan. Hal ini berlangsung hingga minggu, bulan, dan tahun pun nyaris berganti. Hingga suatu ketika…
“Kocu yang lucu, ingat-ingat semangat kita menuju kolam! Ya.. memang bobok enak dan mimpi itu menyenangkan, sih, tapi alangkah sayang jika sudah sampai di kolam surga eh kamunya malah bobok-bobok belaka. Tak apa, meski tidak ada aku kamu harus tetap bahagia bermain di sana,” kawan Kocu mendadak hadir dan memberi petuah dalam salah satu episode mimpinya.
Kocu bangun. Sejenak ia kebingungan akan mimpi barusan. Sembari mengumpulkan nyawa, Kocu pun teringat perjuangannya dan si kawan hingga tiba di kolam surga. Kawannya memang kini belum memberi kabar dan Kocu tak tahu kapan si kawan akan kembali. Namun, Kocu mulai mengumpulkan tekad untuk kembali terjun hidup ke kolam dan mencari keasyikan-keasyikan yang tidak sekadar mimpi.
Segenap biota kolam menyambut baik kebangkitan Kocu. Sayangnya, kegamangan baru mendadak muncul. Kocu ragu kembali ke kolam karena sudah sedemikian lama tidak berenang. Napasnya tersengal, kakinya gemetaran.
“Ayo, Kocu, terjunlah! Kamu pasti bisa berenang selincah dulu!”
Kocu memejamkan mata sejenak, mengatur napas, menepis sendiri keraguan yang muncul. Bisa lincah atau tidak, dirinya sudah bertekad: Balik ke Kolam.
Bismillahirrohmanirrohim…
Jbur!
Kembali berenang 🙂